Sabtu, 04 Mei 2013

Tetesan Air Mata Sepak Bola

Artikel Ini saya ambil dari bolanews.com tulisan hasil karya Weshley Hutagalung
“Bukan para politisi rakus, tetapi para pemain sepak bola yang membuat kami bangga. Tim nasional Irak telah menyatukan bangsa ini.”
Ucapan ini dilontarkan seorang polisi berusia 43 tahun di Kota Bahdad bernama Sabar Shaiyal. Keberhasilan Irak menjuarai Piala Asia 2007 dengan mengalahkan Arab Saudi 1-0 di Stadion Bung Karno, Jakarta (29/7), sangat menggembirakan masyarakat yang lama terganggu perang itu.
“Kemenangan tim sepak bola Irak adalah hadiah bagi bangsa Irak yang telah menderita karena pembunuhan, bom mobil, penculikan, dan aksi-aksi kejahatan lain,” ujar Falah Ibrahim, penduduk Kota Baghdad.
Football for peace. Ya, kenapa tidak kampanye sepak bola demi perdamaian dipakai bangsa Irak untuk memulihkan luka mendalam yang selalu “dihadiahkan” peperangan.
Mari simak komentar Shiite Tareq Yassin, salah satu masya­rakat Irak yang berkumpul di Baghdad usai Mahmoud Younis mencetak gol tunggal kemenangan Irak atas Arab Saudi. “Para politisi telah memecah belah kami, tetapi atlet-atlet ini menyatukan bangsa Irak. Saya melupakan semua hal lain kecuali satu hal, yakni Irak.”
Ada apa dengan Irak sehingga saya memulai Weekend Story ini dengan memori sekitar empat tahun lalu? Hm, bukan soal kualitas tim nasional Merah-Putih di Piala Asia 2007 yang menurut saya lebih baik dari timnas di Piala AFF 2010.
Bukan membandingkan peringkat FIFA Bahrain yang kita kalahkan 2-1, Arab Saudi yang mengalahkan Indonesia 1-2, dan Korea Selatan yang cuma mampu unggul 1-0 atas Tim Merah-Putih dengan lawan kita di Piala AFF 2010, yakni Malaysia, Laos, Filipina, dan Thailand.
Dengan bergetar menahan amarah melihat situasi Kongres PSSI di Hotel Sultan, Jumat (20/5), saya meneruskan tulisan ini dengan harapan kita bisa melihat dampak positif dari sepak bola.
Bukan mengecilkan arti cabang olah raga lain. tapi tak akan bosan saya sampaikan pelajaran sederhana namun mahal yang diberikan football kepada kita.
Seperti yang pernah diucapkan Presiden FIFA, Sepp Blatter, sepak bola itu adalah sekolah kehidupan. Permainan ini tentang harapan. Bila Anda kalah sekarang, besok bisa menang selama mengerti di mana letak kegagalan itu dan mau melakukan perbaikan.
Lalu, hubungan sepak bola Irak dengan Indonesia? Semua diawali dari kegelisahan saya melihat foto-foto dan tayangan tim nasional U-23 yang dipersiapkan untuk tampil di SEA Games 2011. Plus, banyak pertanyaan dari pembaca tentang sikap saya atas program pembentukan karakter timnas di Pusdik Kopassus, Batujajar.
Pembaca, pernahkah Anda menonton film Escape to Victory? Film ini berkisah tentang aktivitas para tentara dari berbagai negara di kamp tahanan Jerman selama Perang Dunia II.
Aktor-aktor pemerannya punya nama beken, seperti Sylves­ter Stallone dan Michael Caine, hingga mantan pemain Pele, Bobby Moore, dan Osvaldo Ardiles.
Tantangan pertandingan eksebisi dari tim sepak bola Jerman diladeni para tawanan peran pimpinan Terry Brady (Bobby Moore). Bila Jerman memakai laga itu sebagai bagian dari propaganda, Brady dkk. ingin melarikan diri usai babak I.
Apakah pesan dari film ini? Dari kaca mata sepak bola, Escape to Victory memperlihatkan bahwa football bisa menyatukan ber­bagai kepentingan yang berbeda.
Ketika kapten Robert Hatch dkk. (diperankan Sylvester Stallone) memiliki peluang melarikan diri melalui terowongan di kamar ganti, mereka melihat kejayaan yang lebih besar di lapangan sepak bola.
Ya, mengalahkan Jerman yang arogan dan berkuasa dengan segala fasilitas mewah timnya, dirasakan lebih terhormat. Walau mereka mendapat berbagai hambatan, terutama ambisi pribadi sejumlah pemain yang ingin melepaskan diri dari siksa kamp tahanan.
Dari sepak bola, para tentara juga bisa belajar bagaimana berdisiplin menjaga waktu yang dimiliki. Ingat, setiap tim memiliki 45 menit di babak I dan 45 menit di babak II untuk diperjuangan guna meraih kemenangan.
Bila kita gagal menjaga koor­dinasi pertahanan dan meracik serangan berbahaya untuk melumpuhkan lawan selama 2 x 45 menit itu, bersiap­lah markas kita menerima gempuran lawan dari semua lini.
Soal komando, sepak bola juga menuntut para pemainnya bertempur mengikuti strategi pelatih, walau terkadang inovasi dibutuhkan di lapangan melihat situasi dan kondisi.
Nah, melihat situasi Kongres PSSI hingga Jumat malam, saya jadi bertanya, “Apa artinya sertifikat program pembentukan karakter yang dikeluarkan Satlak Prima, yang katanya wajib dimiliki atlet Indonesia kalau ingin tampil di SEA Games, bila sanksi FIFA menimpa tim nasional kita?”
Saya mendengar anggaran program pembentukan karakter atlet SEA Games di markas Kopassas itu selama 2011 mencapai 7,1 miliar rupiah. Sementara biaya untuk tenaga asing, termasuk di dalamnya sports science, pelatih, dan konsultan berjumlah 9,4 miliar.
Pertanyaannya, setelah menge­luarkan ongkos Rp 5 juta per kepala, adakah jaminan akan ketang­guhan mental dan disiplin itu setelah atlet kita mening­gal­kan Pusdik Kopassus di Batujajar?
Hm, bila ada jaminan, rasanya kita perlu mengajak sebagian besar peserta Kongres PSSI merasa­kan program bapak-bapak Kopassus.
Kalau Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela terbukti sukses memakai football sebagai alat perdamaian dan pemersatu bangsa, kenapa kita harus berbeda?
sumber:

Bolanews.com
http://toglu.wordpress.com/2011/05/28/tetesan-air-mata-sepak-bola/#more-751

Tidak ada komentar:

Posting Komentar